Sampaikanlah Cinta!
#CeritaPendek #Fiksi
Perasaan itu masih ada. Meskipun telah ternoda oleh dusta
dan hatiku terluka, aku masih menyimpannya dalam bungkus rahasia antara aku,
Tuhan, dan masa lalu.
Aku tidak dapat melupakan setiap memori yang terlanjur
terekam di dalam pikiranku yang kacau karenanya. Realita ini memaksaku untuk
menerima hal-hal yang tidak pernah aku duga dan melupakan impian yang dahulu
aku anggap sempurna.
Cinta? Itukah kata yang tepat untuk menyimpulkan segala
prahara yang memporak-porandakan hidupku satu tahun ini? Tidakkah harusnya
cinta dipenuhi oleh rasa bahagia, bukan malah putus asa?
Lantas, apakah cinta itu sebenarnya? Atau jangan-jangan
cinta itu tidak pernah ada? Mungkin saja ia hanyalah legenda dan cerita orang
tua yang berusaha menghibur diri karena dunia ini adalah sebuah panggung
sandiwara.
Ah, cinta! Aku hanya mengada-ngada. Selalu saja bertanya apa
itu artinya dan kemudian menyambungnya dengan pertanyaan lainnya. Tak pernah
aku menemukan jawaban yang merupakan kesimpulan atas semua pertanyaan tentangnya.
Tidak ada pernyataan arti cinta yang jelas. Tidak ada yang
dapat membantuku memahaminya. Hingga suatu ketika aku mengalaminya sendiri.
Cinta itu ada. Benar-benar ada. Namun, aku telat menyadarinya. Aku terlambat
mengungkapkannya.
Februari 2014
Sebuah undangan pernikahan berada di atas meja kantorku. The
Wedding of Mr. X and Ms. Y. Aku tak menyangka secepat ini. Dua minggu lagi
mereka akan menikah. Beraninya mereka mengundangku untuk menyaksikan mereka
bahagia, sedangkan aku mengelus dada.
“Lo akan datang, Vin?” tanya Milla yang menatapku iba.
“I don’t know,” jawabku singkat, tak bersemangat.
“Lupakanlah, Vin! Biarkan mereka bahagia.”
“Gue sudah move on, La. Hanya saja gue sudah nggak
menganggap mereka pantas mendapatkan waktu gue.”
“Mereka mungkin juga nggak mengharapkan kedatangan lo, Vin.
Hanya sebagai pemberitahuan kalau mereka akan menikah. Walaupun begitu,
sebaiknya lo pergi. Buktikan bahwa lo bukan
orang yang lemah ketika kalah dalam cinta.”
“Gue nggak kalah, La. Gue hanya belum berhasil menemukan
orang yang tepat.”
Februari 2013
Aku tidak pernah menyangka bahwa sahabat yang paling aku
percaya tega mengkhianatiku. Kepercayaan yang aku beri semua, dianggapnya
cuma-cuma. Ternyata kita mencintai wanita yang sama.
Mr. X tahu bahwa aku cinta kepada Ms. Y. Selama ini, aku
selalu menceritakan kepada X tentang perasaanku kepada Y. Namun, apa yang aku
terima? Diam-diam aku dikhianatinya.
Dari awal aku berkenalan dengan Y hingga akhirnya aku jatuh
cinta dan berusaha mendekatinya, X selalu menjadi orang pertama yang tahu apa
yang aku perjuangankan. Aku begitu terbuka dengan X karena aku telah menganggapnya
orang yang tepat untuk berbagi tentang apa yang aku sedang alami.
“Loh, lo di sini? Ngapain kalian?” tanyaku heran ketika
menyaksikan Y berada di kamar X dan mereka sedang berpegangan tangan. Saat itu,
aku tiba-tiba mengunjungi kos X, tanpa memberitahukannya terlebih dahulu. Kamarnya
memang tidak dikunci. Bermaksud untuk memberikannya kejutan, tetapi malah aku
yang terkejut menyaksikan apa yang ada dihadapanku.
X dan Y tampak panik, kemudian segera saling melepaskan
genggaman tangan mereka. “Eh….Y mau pinjam buku, Vin, makanya dia datang.”
Jawab X tanpa menatap mataku.
“Buku apa? Tumben baca buku Y?” Aku tidak percaya.
“Bu-ku…Super-nova, Vin,” jawab Y ragu.
“Itu kan buku gue, Y. Kenapa nggak bilang X kalau Y mau
pinjam?”
“Baru mau kabarin. Pas kan lo nya datang sekarang.”
“Gue pulang dulu ya, X, Vin. Ada janji ketemu teman sebentar
lagi,” tiba-tiba Y bergegas pamit.
“Oke. Bye, Y!” X membalas Y.
Aku diam saja dibakar cemburu. Baru saja Y pergi dari hadapan
kami, aku sudah tak sabar mencari tahu apa yang telah disembunyikan dariku.
“Kampret! Maksud lo apa?” Aku tak dapat lagi menahan
kemarahanku.
“Sorry, Vin. Gue juga suka sama Y.” Entah mengapa aku tidak
melihat ada raut wajah menyesal yang teramat dalam dari dirinya.
“Pantesan! Kalian sering banget BBM-an. Kemarin-kemarin pas
gue mau nembak dia, lo melarang. Ternyata…”
“Gue ngaku salah. Gue juga cape diam-diam suka begini.”
“Alasan! Harusnya lo ngaku aja dari dulu. Sahabat macam apa,
lo?” Aku sudah tidak tahan lagi. Selama ini kecurigaanku ternyata benar.
Bodohnya aku terlalu percaya dengan orang yang salah. Aku pun segera beranjak
meninggalkan Y yang terdiam tak berkutik.
Tanpa kusadari, kedua tanganku mengepal. Ingin rasanya aku meninju
tembok yang ada di depanku. Bukan hanya aku kehilangan kepercayaan terhadap
sahabatku, tetapi aku juga mulai putus asa dengan perjuangan cintaku kepada Y.
Tak dapat aku pungkiri, dari gelagat Y selama ini,
sepertinya Y juga menyukai X. Pantas saja dia jarang sekali bersedia aku ajak
pergi berdua, kecuali bila Y ikut menemani.
Aku naïf. Terlalu
berharap. Sahabat yang setia itu tidak ada. Padahal kami telah saling mengenal
selama 10 tahun, tetapi hanya karena wanita yang baru kami kenal 2 tahun, ia tega
melukai sahabatnya sendiri. X tidak pantas aku sebut lagi sahabat.
The
Wedding Day
Aku dan Milla telah hadir di resepsi pernikahan X dan Y. Aku
berusaha tersenyum menyaksikan kemeriahan pesta malam ini. Teman-temanku tampak
terkejut ketika aku datang karena mereka sudah tahu bagaimana konflik yang
sempat terjadi di antara kami bertiga. Mereka bahkan lebih terkejut ketika aku
memperkenalkan Milla kepada mereka.
Aku sengaja mengajak Milla untuk hadir menemaniku. Aku tidak
mau datang sendirian. Lagi pula, ia yang sedikit memaksaku untuk hadir malam
ini.
Setelah meluangkan waktu sebentar bercengkerama dengan
teman-teman lama, aku dan Milla menuju antrian para tamu yang ingin menyalami
kedua mempelai. Hingga pada giliranku, aku pun menyalami X dan Y dan
mengucapkan selamat tanpa berbasa basi. “Congrats!” ucapku singkat dengan
senyuman tipis di pipiku.
“Thanks for coming, Vin,” balas X.
“Thanks you, Kevin.” balas Y.
Mereka tampak biasa saja menyaksikan kehadiranku. Aku tidak
terlalu peduli lagi dengan apa yang ada di perasaan dan pikiran mereka tentang
diriku. Sehabis bersalaman, aku dan Milla bergegas pulang tanpa mencicipi
makanan. Aku memang tidak ingin berlama-lama di sana.
“Sudah lega, Vin?” tanya Milla padaku di parkiran mobil.
“Sudah, La. Makasih ya mau temani malam ini."
Milla hanya membalasku dengan senyuman manis yang terukir dengan
lesung pipit indah yang menghias kedua pipinya. Kenapa malam ini ia tampak
lebih cantik daripada biasanya?
Milla adalah teman kantorku. Sudah setahun ini aku
mengenalnya. Seiring berjalannya waktu, kami berdua saling merasa cocok
sehingga dapat saling terbuka menceritakan masa lalu kami, apa yang sedang kami
alami, bahkan impian apa yang ingin kami raih.
Aku merasakan kenyamanan ketika berada di dekatnya, begitu
pun sebaliknya. Mungkinkah aku akan jatuh cinta lagi? Dengannya?
Biarkan saja waktu yang menunjukkan iya, niscaya semesta
akan merestuinya. Aku juga tidak akan lagi menyia-nyiakan kesempatan dan memendam
rasa terlalu lama.
Sampaikanlah cinta, nyatakanlah segera!
Sampaikanlah cinta, nyatakanlah segera!
Komentar