Cerita Pendek : Cinta Kasih
“Apa
agamamu?” Tanya seorang HRD di depanku.
Setelah
dicecar berbagai pertanyaan umum layaknya seorang HRD bertanya kepada calon
pelamar kerja, tiba-tiba Ibu Angel melontarkan sebuah pertanyaan sensitif itu.
“Tidak
ada.” Jawabku ketus.
“Hmm
tidak ada? Di KTP-mu tertulis Kristen?” Ibu Angel bertanya lagi, kali ini
dengan mengernyitkan dahinya.
“Itu
hanya formalitas. Agama saya adalah Cinta Kasih. Dan maaf Bu sebelumnya, saya
kira ini tidak perlu dibahas.” Jawabanku membuat Ibu Angel menjadi kaget. Calon
karyawan sudah berani berkata tegas kepada HRD yang akan menentukan nasibku
diterima atau tidak di perusahaannya.
“Oke.
Wawancaranya telah selesai. Saya akan kabari hasilnya dalam satu hingga dua
minggu ke depan.” Ibu Angel tiba-tiba menghentikan sesi wawancara kerja ini.
“Terima
kasih, Ibu Angel. Maaf jika ada salah kata.” Aku pun segera bangkit dari kursi
dan meninggalkan ruangan Ibu Angel.
“Terima
kasih.” Kami saling berjabat tangan.
Itu
adalah wawancara kerjaku yang kesekian kalinya. Entahlah, aku tidak mau
menghitungnya. Sudah dua bulan aku menganggur. Setelah bisnis café yang aku
jalani mengalami kerugian, aku memutuskan untuk menutupnya dan mencari
pekerjaan.
Baiklah,
sebelum melanjutkan ceritaku, aku ingin memperkenalkan diriku. Namaku Yudas
Iskandar. Umur 24 tahun. Masih jomblo, sejak diselingkuhi oleh seorang mantan
dua tahun yang lalu. Namanya Bunga Bangkai (bukan nama yang sebenarnya). Dia
selingkuh dengan cowok bernama Monyet (bukan nama sebenarnya) yang lebih tajir
dariku. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk fokus mencari uang dulu dan
menjadi mapan secara finansial agar wanita tidak memandangku sebelah mata.
Setelah
interview tadi, wajah Ibu Angel sesekali menyelinap ke dalam pikiranku. Aku
tidak suka dengan sikapnya tadi yang bertanya tentang agama, tapi aku berharap
aku dapat diterima bekerja di sana. Karena aku sudah lelah jika harus
mendatangi dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk mengikuti sesi
psikotest dan interview yang
membosankan. Semoga ini yang terakhir.
Singkat
cerita, satu minggu kemudian aku mendapat panggilan dari Ibu Angel bahwa aku
diterima di sana. Akhirnya, setelah dua bulan lebih menganggur, aku dapat
kembali bekerja.
Pekerjaanku
sekarang adalah seorang jurnalis online. Aku sangat ingin mengembangkan bakat
menulisku dan menyalurkan rasa ingin tahuku yang lebih akan hal-hal yang sedang
terjadi. Di bulan pertama masa percobaan ini, aku diminta untuk menulis berita
mengenai politik. Sebuah tantangan yang aku suka.
“Pak
Yudas, sendirian aja?” Ibu Angel tiba-tiba berada di depanku dan mengusik
lamunanku.
“Eh,
Ibu. Iya, hehe.” Aku menjawab sambil berpura-pura terkekeh.
“Jurnalis
itu harus bisa beradaptasi dengan lingkungan. Jangan sendirian aja. Gue
daritadi merhatiin lo gak aktif berkenalan dengan yang lain.” Ibu Angel
tiba-tiba menasihatiku dan sok akrab dengan memanggil “gue, lo”.
“Ibu
merhatiin saya? Hehe.” Aku coba mengalihkan pembicaraan. Ibu Angel tampak salah
tingkah.
“Hanya
ingin tahu karyawan baru seperti apa, sih yang gue terima.”
“Namanya
juga anak baru, Bu. Masih kalem di awal, hehe. Lah, ibu Angel juga sendirian
aja, nih?”
“Eh.
Iya. Gue beli makan dulu ya, bungkus. Panggil gue Angel aja. Gak usah terlalu
formal.”
“Emangnya
kita seumuran?”
“Kurang
lebih.” Ibu Angel, eh Angel kemudian langsung membalikkan badan dan menghampiri
salah satu tempat makan di kantin karyawan ini.
Sejak
itu, hubungan aku dan Angel menjadi dekat. Ketika jam pulang kantor, aku
menawarkan diri untuk mengantarnya pulang dengan motorku. Kebetulan jalan ke
kosnya searah dengan kosku.
“Yudas?”
Angel menghentikanku.
“Iya?”
“Aku
boleh main ke kosmu?”
“Heee.
Boleh. Kok tumben?”
“Iya,
bosen.”
“Oh.
Oke.”
Sepanjang
perjalanan, aku dan Angel menyibuk-nyibukkan diri dengan pikiran masing-masing.
Tidak ada terjadi percakapan apapun. Entah kenapa aku merasa salah tingkah.
Sesampainya
di kosku, aku langsung menghidupkan televisi yang ada di kamarku. Wajah Angel
tampak tidak secerah biasanya. Jadi aku agak segan mengajaknya bicara.
“Das,
berantakan banget kamar lo?” Angel tiba-tiba membuka pembicaraan.
“Maklum,
anak cowok.”
“Alasan nggak logis bawa-bawa gender.”
“Tapi
faktanya kan rata-rata cowok males beres-beres.”
“Survei
dari mana?”
“Dari
semua teman cowok gue.”
“Ya
elah. Bisanya lo aja itu.”
“
Angel, kok tumben lo mau ke kosan gue?”
“Emangnya nggak boleh?”
“Nanya
doang. Kita mau ngapain sekarang?”
“Ngobrol
aja kek sambil nonton TV.”
“Okay. By the way, lo kok nerima gue pas
melamar kerja?”
“Karena
kita lihat lo berbakat, ya walaupun nyebelin, nyolot pas ditanya agamanya apa.”
“Oh.
Gue nggak suka ditanya soal agama.”
“Kenapa?”
“Gue nggak punya agama!”
“Kenapa?
Lo nggak percaya Tuhan?”
“Nggak
beragama bukan berarti nggak percaya Tuhan, kan?”
“Maksud
lo?”
“Agama
itu nggak memberikan kedamaian. Agama malah menyebabkan berbagai masalah di dunia
ini. Lo lihat kan di mana-mana banyak konflik karena perbedaan agama, bahkan
orang yang seagama sekalipun saling berselisih.”
“Oh,
okay. Agama memang terkadang membuat
orang terpisah. Tapi, yang gue tanya adalah lo percaya Tuhan atau nggak?”
“Peduli
amat lo mau gue ber-Tuhan atau nggak?”
“Gue
cuma tanya. Sewot amat lo!”
“Sorry. Gue agak males kalau ngomongin
agama atau Tuhan. Nggak ada habisnya. Lo liat aja artikel yang gue tulis, kalau
ada menyangkut SARA pasti rame orang yang beradu komentar, saling merasa paling
benar.”
“Terus
lo jadi nggak beragama dan nggak percaya Tuhan gara-gara itu?
“Gue
masih percaya Tuhan. Gue cuma nggak mau manusia mengatur hubungan gue dengan
Tuhan melalui agama ini atau itu.”
“Gue
bingung sekarang. Jadi, gimana lo bisa percaya Tuhan kalau lo sendiri nggak
beragama?”
“Kalau
kita berbicara tentang percaya Tuhan, itu berbicara tentang iman. Sedangkan
agama hanyalah status yang dibuat manusia untuk menunjukkan identitas spiritual
seseorang. Padahal untuk mengukur kadar rohani seseorang, bukanlah dilihat dari
agamanya apa, tapi bagaimana dia hidup.” Aku menatap Angel serius.
“I see. Jadi, maksud lo kalau orang yang
beragama belum tentu ber-Tuhan, dan orang yang ber-Tuhan nggak harus beragama?”
“Lebih
tepatnya, orang yang beragama belum tentu memiliki Cinta Kasih, dan orang yang
ber-Tuhan pasti memiliki Cinta Kasih. Karena ajaran Tuhan yang terutama adalah
Cinta Kasih. Percuma dong kalau beragama, tapi malah membenci dan mudah
menghakimi orang lain. Padahal setiap orang itu berdosa, cuma caranya berbeda.”
“Okay. Iya, sih. Tapi yang salah itu
orangnya, bukan agamanya juga. Menurut gue, dengan beragama kita jadi lebih
mengenal mana yang baik dan benar, sehingga jadi lebih dekat dengan Tuhan.”
“…”
“Yudas?"
“Eh,
Suntuk gue bahas beginian. Ganti topik yuk. Lo sendiri kenapa hari ini beda?”
“Lah,
kenapa jadi bahas tentang gue?”
“Habisnya
mimik wajah lo bête aja seharian ini.”
“Gue
baru aja putus.”
“Oh,
lo uda punya pacar?”
“Sekarang nggak.”
“Kenapa
putus?”
“Gue
yang mutusin. Dia selingkuh.”
“Emangnya
itu cewek lebih cantik dari lo?”
“Emangnya
gue cantik, Yudas? Hahaha.”
“Duh,
salah ngomong gue.”
“Sialan
lo.”
“Hahaha.”
“Kita
bahas yang lain aja ya? Biar gue bisa move
on.”
“Ya
sudah. Kita lanjut nonton TV aja ya.”
“Channel
V dong. Denger lagu aja kita.”
“Terserah
lo.”
* * *
Entah
kenapa, gara-gara Angel menyinggung soal agama dan Tuhan, ada satu perasaan
yang bergejolak di ujung hati nuraniku yang sejak lama tak tersentuh. Aku
menjadi sadar bahwa ada satu bagian dalam diriku yang telah lama hilang.
Suara-suara kecil di dalam batinku dikalahkan oleh keributan di dalam
pikiranku. Logikaku telah mengambil alih kehidupanku.
Sejak
kecil, otakku sudah diisi dengan berbagai pengajaran Kristen. Aku rajin ke
gereja dan bahkan aku mengambil bagian dalam pelayanan. Namun, semua paham yang
aku terima sedari kecil mulai luntur perlahan-lahan sejak aku dewasa dan
merantau kuliah ke Jakarta.
Aku
semakin malas ke gereja. Dan setahun belakangan ini, aku memutuskan untuk
meninggalkan agama yang aku anut sejak lahir.
“Angel?”
Suatu malam di kosnya.
“Iya,
Yudas?”
“Eh,
besok gue ikut lo ke gereja, ya?”
“Wow!
Beneran?”
“Iya.”
“Padahal
gue cuma iseng ajakin lo waktu itu?”
“Entah
kenapa, gue kangen suasana Paskah.”
“Kangen
apanya?”
“Gue
udah lama nggak merasakan hadirat Tuhan?”
“Tumben
lo mau ngomongin Tuhan lagi?”
Mataku
mulai berkaca-kaca. Tidak mudah untuk jujur dengan perasaan, apalagi
menunjukkan sisi rapuh seorang pria dihadapan wanita. Menangislah bila harus
menangis, tapi aku coba menahannya. Aku memalingkan wajahku dan menyeka air
mataku yang tertahan.
“Angel,
gue sebenarnya males ngomongin agama. Gue bukan nggak percaya Tuhan. Gue sangat
menyadari keberadaan-NYA. Tapi, gue bingung bagaimana caranya gue bisa dekat
sama DIA kalau gue nya nggak beribadah. Betul juga kata lo, dengan beragama kita
jadi lebih mengenal mana yang baik dan benar, sehingga jadi lebih dekat dengan
Tuhan.”
“Gue
dulu sempat berpikiran yang sama kayak lo. Agama kadang malah bikin ribet, tapi
gue percaya ada kebenaran atas apa yang diajarkan dalam agama. Gue percaya
alkitab itu isi hati Tuhan. Jadi, sampai saat ini gue memutuskan untuk stay. Gue tetap beragama, tapi iman gue
bukanlah nama agama gue, tapi nama Tuhan gue.”
“Nah,
itu dia. Mindset. Pola pikir lo mirip
dengan gue. Gue kecewa dengan orang-orang yang sering membawa nama agama, tapi
malah menyakiti sesamanya. Gua kadang bingung, yang salah agamanya, orangnya,
atau Tuhannya?”
“Yang
salah itu bukan agamanya. Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, atau agama
apapun, pasti mengajarkan kebaikan. Masalahnya ada di orangnya yang mempelajari
agama itu dengan sudut pandangnya yang salah.”
“Yap.
Mereka itu yang malah men-Tuhankan
agamanya, bukannya men-Tuhankan sosok Pribadi Tuhan itu sendiri. Jadinya mereka
malah lupa untuk berbuat Cinta Kasih.”
“Waduh,
berat banget bahasan kita. Yang pasti, lo besok jadi ke gereja?”
“Iya,
gue mau rayain Paskah. Menurut gue, bukti Cinta Kasih terbesar dan paling nyata
di dunia adalah pas Paskah ini. Tuhan mengorbankan nyawa-NYA demi manusia yang
berdosa.”
“Hmm.
Lo kok jadi aneh?”
“Aneh
gimana?”
“Cara
berpikir lo sepertinya berubah.”
“Beberapa
bulan ini gue merenungkan kata-kata lo waktu itu. Tapi kalau gue ke gereja
lagi, bukan berarti gue bakal bangga dengan agama, tapi gue bangga dengan
pengajaran-NYA.”
“Okay. Lo bikin gue bingung mau ngomong
apa, hahaha.”
“Hahaha.
Besok jam 8 pagi, kan?
“Iya.
Jangan telat ya.”
“Sip.
Gue besok jemput lo di kosan.”
“Thanks.”
“Anyway, thanks ya udah jadi orang yang gue percaya untuk discuss soal agama dan Tuhan.”
“Gue
senang kita bisa saling share apa
yang kita rasakan dan yang kita pikirkan.”
Aku
memegang tangannya dan kemudian menatapnya dalam. Angel tersenyum kepadaku. Aku
pun membalasnya. “Thanks Angel. See you tomorrow.”
“See you, Yudas.” Aku melepaskan
genggaman itu dan kemudian kami berpisah.
"Demikianlah tinggal ketiga hal ini,
yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah
kasih.” – 1 Korintus 13:13
Komentar
Salam kenal,
http://penjajakata.com/